Indonesia, di bawah bendera kolonial Belanda, pernah ikut berpartisipasi dalam pertandingan sepakbola terakbar sejagat yaitu di Piala Dunia 1938 di Prancis. Meskipun Hindia-Belanda kini sudah merdeka dan berganti nama menjadi Indonesia, menurut aturan Badan Sepakbola Dunia (FIFA), Indonesia tetap menyandang rekor negara pendahulu, dalam hal ini Hindia-Belanda. Oleh sebab itu Indonesia tercatat oleh FIFA sebagai negara Asia pertama, dan sejauh ini satu-satunya negara Asia Tenggara yang pernah berpartisipasi dalam Piala Dunia.
Keputusan FIFA menyelenggarakan Piala Dunia 1938 di Prancis mendatangkan kemarahan negara-negara Amerika Selatan, karena mereka mengira FIFA akan terus menyelenggarakan Piala Dunia di kedua benua secara bergantian. Keputusan ini berujung pada pengunduran diri Argentina dan Uruguay, diikuti negara-negara lain. Alhasil peserta kualifikasi pun menjadi sedikit, dan bagi beberapa negara ini menjadi sebuah keberuntungan, karena mereka dengan mudah masuk Piala Dunia tanpa melawan siapa pun. Indonesia, dengan nama Nederlands-Indië (Hindia-Belanda) pun mengalami keberuntungan serupa. Mereka yang dijadwalkan bermain melawan Jepang di Grup 12 pun dapat melenggang bebas ke Prancis, karena Jepang mengundurkan diri.
Pengiriman kesebelasan Hindia Belanda bukannya tanpa hambatan. NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau Organisasi Sepakbola Hindia-Belanda di Batavia bersitegang dengan PSSI (Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia) yang telah berdiri 19 April 1930. PSSI yang diketuai Soeratin Sosrosoegondo, insinyur lulusan Jerman yang lama tinggal di Eropa, ingin pemain mereka yang dikirimkan. NIVU dan PSSI kemudian membuat kesepakatan pada 5 Januari 1937, salah satu butirnya yakni dilakukan pertandingan antara tim bentukan NIVU melawan tim bentukan PSSI sebelum diberangkatkan ke Piala Dunia atau semacam seleksi tim. Namun, NIVU melanggar perjanjian dan memberangkatkan tim bentukannya.
Konon, NIVU melakukannya karena tak mau kehilangan muka, karena PSSI masa itu memiliki tim yang kuat, termasuk kipernya yaitu R. Maladi. Hal ini membuat Soeratin sangat marah dan PSSI lantas membatalkan secara sepihak perjanjian dengan NIVU saat Kongres PSSI di Solo pada 1938. Andai saja Tim PSSI yang berangkat, mungkin mereka akan bertanding mewakili Indonesia, dan bukan Hindia-Belanda. Namun apa boleh buat, kesebelasan dikirimkan tanpa mengikutsertakan pemain PSSI dan menggunakan bendera NIVU yang diakui FIFA.
Ditangani pelatih Johannes van Mastenbroek, pemain kesebelasan Hindia-Belanda adalah mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda. Sulit untuk mengetahui secara pasti daftar susunan pemain Hindia-Belanda yang ikut bertanding, mengingat ketika itu Tim Hindia-Belanda hanya melakukan satu kali pertandingan dan juga minimnya pencatatan informasi pada masa itu, namun yang resmi tercatat oleh FIFA adalah sebagai berikut: Mo Heng Tan (penjaga gawang), Achmad Nawir (kapten), Hong Djien Tan, Frans Meeng, Tjaak Pattiwael, Hans Taihuttu, Suvarte Soedarmadji, Anwar Sutan, Henk Sommers, Frans Hukon, dan Jack Samuels, sedangkan di bangku cadangan adalah: J. Harting (penjaga gawang), Mo Heng Bing, Dorst, Teilherber, G. Faulhaber, R. Telwe, See Han Tan, dan G. Van den Burgh. Melihat dari nama-namanya, tentu kita patut berbangga, karena selain orang-orang Belanda, orang Jawa, Ambon, Tionghoa dan pribumi lainnya pun diikutserakan dalam skuad.
Mereka berangkat pada tanggal 18 Maret 1938 menggunakan Kapal MS Johan van Oldenbarnevelt dari Tandjong Priok, Batavia menuju Belanda. Tim Hindia-Belanda pun akhirnya tiba di Pelabuhan Rotterdam setelah terombang-ambing oleh badai petir selama 3 bulan. Untuk memulihkan kondisi fisik dan mental, mereka melakukan beberapa pertandingan ujicoba. Surat kabar Sin Po – yang uniknya selalu menyebut Tim NIVU dengan sebutan “Team Indonesia” – secara kontinyu melaporkan perjalanan NIVU ke Eropa. Sin Po edisi 26 Mei 1938 memberitakan van Bommel dari NIVU telah menghadap Menteri Urusan Tanah Jajahan yang akan menerima Tim Indonesia pada 31 Mei. Sin Po 27 Mei 1938 memberitakan hasil pertandingan Indonesia melawan HBS, skor 2-2. Edisi 28 Mei 1938, dilaporkan bahwa Mo Heng (kiper) cedera sehingga diragukan bisa tampil di Prancis, juga bahwa Tim Indonesia menyaksikan pertandingan Liga Belanda antara Heracles melawan Feyenoord. Sin Po 2 Juni 1938 mewartakan, Indonesia menang atas klub Haarlem dengan skor 5-3. Mereka bermain dengan formasi 2-2-6, sebuah strategi yang berorientasi menyerang. Strategi inilah yang telah mereka siapkan untuk melawan Hongaria, lawan pertama mereka, yang begitu dijagokan di Piala Dunia ini. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka menuju Paris dengan kereta api diiringi oleh yel-yel dari sekelompok suporter, antara lain nyanyian “Kora kora, nee” yang mirip dengan nyanyian “Olé, olé, olé” yang populer sekarang ini.
5 Juni 1938, pukul 17.00 waktu setempat, tibalah saatnya pertandingan antara Hongaria dan Hindia-Belanda. Pertandingan berlangsung di Vélodrome Municipal di kota Reims, 129 km dari Paris, dihadiri oleh sekitar 9000 penonton dan wartawan dari 27 negara berbeda. Konon, sebelum kickoff, para pemain Hindia-Belanda lupa melakukan kegiatan ritual mereka, seperti Mo sang kiper yang lupa menepuk-nepuk kedua tiang gawang, dan si midfielder kidal “Boedie,” yang melupakan kebiasaannya membulat-bulatkan rumput lapangan dengan jarinya terus menerus sampai berair, dan menghirupnya.
Mereka pun bermain dengan formasi menyerang 2-2-6, namun tak bisa berbuat banyak. Baru 13 menit permainan berjalan, gawang Mo Heng sudah berhasil dibobol penyerang Hongaria Vilmos Kohut. Disusul gol-gol lainnya di menit 15, 28, dan 35. Babak pertama berakhir 4-0, namun dua gol lagi berhasil disarangkan pemain Hongaria ke gawang Hindia-Belanda yang menjadikan skor akhir 6-0. Sayangnya, ketika itu Piala Dunia menggunakan format knockout, dimana tim yang kalah otomatis tersingkir. Piala Dunia tahun 1938 merupakan Piala Dunia terakhir menggunakan format ini. Andaikan saja menggunakan format grup, pastinya lebih banyak pertandingan yang dimainkan oleh Tim Hindia-Belanda, dan lebih besar kemungkinan menjadi juara grup, atau setidaknya memenangkan satu match saja. Alhasil, perjuangan Tim Hindia-Belanda berakhir begitu saja setelah digilas 6-0 oleh Hongaria, tim tangguh yang akhirnya menjadi Juara 2 setelah kalah 4-2 oleh Italia. Meskipun demikian, surat kabar Prancis Le Figaro memuji semangat juang kesebelasan Hindia-Belanda, The Sunday Times memuji fairplay mereka, dan pada edisi 7 Juni 1938, Sin Po menampilkan headline nan heroik: “Indonesia-Hongarije 0-6, Kalah Sasoedahnja Kasi Perlawanan Gagah.
Foto di atas diabadikan saat kedua tim, Hongaria dan Hindia-Belanda mendengarkan lagu kebangsaan mereka masing-masing. Tentunya saat itu bukan Indonesia Raya yang diperdengarkan, melainkan lagu kebangsaan Belanda yaitu “Het Wilhelmus.” Jika Anda perhatikan Mo Heng sang penjaga gawang, ia sedang menggendong sebuah boneka. Saya pertama kali mengira boneka itu nantinya diberikan kepada Tim Hongaria sebagai tukar-menukar suvenir, seperti pada pertandingan-pertandingan sepakbola yang kita saksikan di televisi selama ini, tetapi ternyata tidak. Di dalam buku “La grande histoire de la coupe du monde” dijelaskan bahwa boneka India yang digendong oleh Mo Heng nantinya akan digantung di jala gawang sebagai jimat. Namun apa daya, boneka itu digetarkan enam kali sepanjang pertandingan dan menjadikannya rekor satu-satunya keikutsertaan Indonesia di Piala Dunia.