Cinta, Lebaran, Sepakbola dan 17 Agustus.
Postingan ini Spesial Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-67.
Cinta, Lebaran, Sepakbola dan 17 Agustus.
(Catatan: Tommy Rusihan Arief/Direktur Media PSSI)
"Cinta adalah tunas pesona jiwa dan jika tunas ini tak tercipta dalam sesaat, ia takkan tercipta bertahun-tahun atau bahkan abad'' (Kahlil Gibran).
Di bulan suci Ramadhan menjelang Hari Raya Idul Fitri 1433 H saya banyak merenung. Terutama menjelang sahur atau berbuka puasa. Mungkinkah bangsa Indonesia yang besar ini sudah kekurangan rasa cinta?
Ataukah rasa cinta di negeri yang religius ini mulai tergerus oleh nilai-nilai individualistis? Mungkin pula karena faktor-faktor keegoan manusia lainnya?
Dalam dunia sepakbola Indonesia, cinta juga seolah pergi dan tergantikan oleh kebencian satu sama lain. Hanya karena alasan individualistis dan egosentris manusia!
Sepatutnya, dibulan yang penuh berkah ini, kita semua merenungkan kembali makna cinta yang sesungguhnya.
Cinta penuh kasih di bulan penuh maaf, sehingga semua anak bangsa bisa saling memaafkan. Lebaran adalah pesona terindah untuk kesucian hati.
Banyak kekurangan dalam sepakbola Indonesia. Tetapi masih terlalu banyak hal membanggakan yang bisa menumbuh kembangkan rasa cinta. Banyak tunas pesona jiwa yang dapat memikat rasa cinta. Karena jika tunas pesona tidak tercipta dalam sesaat (saat ini), ia tidak akan tercipta bertahun-tahun bahkan abad.
Maka cintailah apa yang baik dan ada dalam persepakbolaan Indonesia. Jika kita tidak melakukannya saat ini, maka kita tidak akan pernah mencintainya selama berabad-abad. Mungkinkah kita selamanya akan kehilangan cinta terhadap kehormatan sepakbola Indonesia?
Kita harus mencintai kisah fantastis penampilan anak-anak muda Indonesia kala itu di Olimpiade Melbourne 1956. Ramang, Khairuddin Siregar, Kwee Kiat Sek, Phwa Sian Liong, Thio Him Tjiang, Tan Liong How dan kawan-kawan, bermain sebagai patriot Indonesia menahan imbang tim raksasa Uni Soviet (0-0) sebelum kalah 0-4 dalam partai ulang.
Hasil di perempatfinal Olimpiade Melbourne 1956 itu sangat istimewa karena Uni Soviet akhirnya menjadi juara. Tim Beruang Merah diperkuat kiper terbaik dunia sepanjang masa, Lev Yashin, yang saat itu berusia 27 tahun. Empat tahun kemudian diperkuat pemain-pemain yang sama, Uni Soviet juara Piala Eropa 1960.
Menurut catatan buku kecil pelatih Uni Soviet saat itu, Gavril Kachalin, (seperti diceritakan almarhum Anatoly Polosin) bahwa Ramang dan Tan Liong How sempat melepaskan empat tendangan keras ke gawang Uni Soviet dan berhasil digagalkan Yashin.
Setelah Melbourne 1956, timnas Indonesia juga mencatat prestasi yang patut diingat dengan rasa cinta. Indonesia mampu masuk perempat final Asian Games 1951, semifinal Asian Games 1954, urutan ketiga Asian Games 1958, perempatfinal Asian Games 1966, perempatfinal Asian Games 1970 dan perempatfinal Asian Games 1986.
Di event internasional lainnya, Indonesia juga menjadi juara Merdeka Games di Kuala Lumpur, empat kali (1960, 1961, 1962, 1969). Juara Agha Khan Gold Cup di Dacca, empat kali (1961, 1966, 1967, 1968) dan King's Cup di Bangkok, satu kali (1968).
Di tim Asian All Stars 1966-1970, tercatat empat pemain Indonesia yakni Soetjipto Soentoro, Jacob Sihasale, Iswadi Idris dan Abdul Kadir. Bahkan sang legenda, Soetjipto Soentoro, menjadi kapten kesebelasan.
Ketika kompetisi semiprofesional Indonesia (Galatama) bergulir 1979, Federasi Sepakbola Jepang (JFA) mengirim utusan untuk berguru. Hasilnya, kompetisi profesional Jepang (J-League) bergulir sejak 1993 dan yang terbaik di Asia sampai saat ini.
Sepakbola tidak hanya soal menang kalah. Menang jadi penambah semangat. Kalah jadi pelecut semangat. Timnas Indonesia juga pernah mencatat kemenangan besar (12-0) atas Philipina pada 22 September 1972 di Seoul, Korea Selatan. Juga menang (13-1) atas Philipina, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, 23 Desember 2002.
Tetapi kekalahan itu melecut Philipina untuk bangkit. Sekarang Philipina berada di peringkat 150 FIFA, lebih baik dari Indonesia (peringkat 159 FIFA).
Kita harus mengucapkan terimakasih dengan rasa cinta kepada pelatih-pelatih hebat timnas Indonesia yang mengharumkan Merah Putih. Mulai dari Antun 'Toni' Pogacnik, E.A. Mangindaan, Wiel Coerver, Endang Witarsa, Djamiat Dahlar, Sinyo Aliandoe, Bertje Matulapelwa, Anatoly Polosin, dan seterusnya. Keberhasilan mereka di masa lalu, dapat menjadi inspirasi bagi pelatih timnas Indonesia masa kini.
Bersama para legenda timnas Indonesia di masa lalu, para pelatih piawai ini adalah pahlawan bangsa di lapangan hijau. Mereka mendedikasikan hidupnya untuk kehormatan sepakbola Indonesia di forum internasional.
Momentum Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2012, refleksi cinta untuk saling memaafkan demi kehormatan bangsa, sangatlah bermakna. Spirit dan semangat juang pantang menyerah yang dicontohkan para pemain timnas di masa lalu, menjadi teladan bagi kita semua.
Karena di forum internasional, hanya dua moment dimana Lagu Kebangsaan Indonesia Raya berkumandang dan bendera Merah Putih berkibar. Yaitu saat kunjungan kenegaraan Presiden ke luar negeri dan saat timnas Indonesia memenangkan kejuaraan antar bangsa.
Jadi tanggal 17 Agustus, tidak sekadar ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Lebih dari itu, 17 Agustus adalah sumber inspirasi bangsa untuk merapatkan barisan, menyatukan langkah dan membulatkan tekad menuju Indonesia jaya.
Dengan cinta, makna kesucian Hari Raya Idul Fitri 1433 H dan refleksi 17 Agustus, kita dapat menyimak setiap persoalan termasuk urusan sepakbola Indonesia, dengan lebih proporsional.
Dengan cinta, kita akan merasa tulus memiliki sepakbola Indonesia. Tidak dengan kata-kata. Bahkan dengan cinta yang sederhana.
''Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tidak diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tidak sempat dilakukan awan kepada hujan, yang menjadikannya tiada'' (Kahlil Gibran).
Seandainya sepakbola Indonesia penuh cinta, tidak perlu ada prahara. Karena prahara hanya mendatangkan nestapa.
Perlu rasa cinta dari semua orang untuk mendorong persiapan timnas menghadapi Piala AFF 2012. Rasa cinta dari semua stakes holder sepakbola Indonesia, diperlukan Nil Maizar sebagai pelatih. Sebab dibutuhkan persiapan spartan, untuk menghadapi tim kuat seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, ataupun Thailand, guna menggapai kebanggaan tertinggi di Piala AFF 2012.
Kita tidak mencari yang tidak kita dapatkan.
''Dengan apa saja kau jumpai, kau ciptakan permainan, kau buat kegembiraan, sementara aku habis waktu, habis pula tenaga mencari yang tak terdapatkan'' (Rabindranath Tagore).
Jayalah sepakbola Indonesia..!
Selamat HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2012. Merdeka..!
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H. Minal Aidin Walfaidzin. Mohon Maaf Lahir dan Batin!